Minggu, 12 Januari 2020

Bahaya

“Bahaya”

Setiap pendapat dari siapapun datangnya pastilah ada terkandung nilai kebenaran di dalamnya, meskipun mungkin sangat sedikit dan tidak kasat mata oleh pandangan kita sekalipun kita telah berusaha melihatnya dari berbagai sudut manapun. Karena itu semestinya kita tidak boleh menjustifikasi pendapat orang lain “hanya” dengan menggunakan standar ukuran diri kita sendiri.
Menjustifikasi pendapat orang lain bagaimanapun bentuknya bisa dikategorikan tidak etis, meskipun tindakan itu sendiri sebenarnya lebih mengarah pada kekurangpahamannya sendiri terhadap suatu pengetahuan yang mungkin belum diketahuinya.
Tapi begitulah yang sering terjadi, orang lebih sering menjadi bersikap defensive atau melindungi diri berlebihan dengan cara mencerca, menghujat, menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain, dan menyalah-nyalahkan atau sekedar men-just pendapat orang lain begini atau begitu dengan konotasi yang merendahkan dengan maksud terselubung rapi untuk sebisa mungkin “menjatuhkan” lawan bicara agar posisi dirinya menjadi lebih tinggi.
Sesungguhnya untuk menjadikan diri kita menjadi lebih tinggi tidak perlu dengan cara merendahkan orang lain. Kalau memang ingin membuat diri kita menjadi lebih tinggi dari orang lain banyak cara yang lebih elegan, daripada menyuruh orang lain untuk jongkok atau bahkan tiarap, misalnya saja dengan berdiri di atas pijakan yang lebih tinggi dari orang lain, naik di atas tutuotolo misalnya, atau kalau kurang tinggi bisa naik ke atas meja, ataupun menara mesjid, atau apa sajalah yang sekiranya bisa membuat posisi kita dianggap berada lebih tinggi dari orang lain dan dengan begitu pandangan kitapun radiusnya makin luas. Kalau posisi demikian dianggap statis dan kurang “mobile” boleh juga untuk selalu menggunakan sepatu bertumit tinggi atau iyoi tua tomollo naik “eggrang” (sejenis mainan untuk berjalan menggunakan dua batang bambu panjang yang diberi pijakan kaki pada jarak setengah meter dari bagian bawah -red)
Justifikasi suatu pendapat dengan istilah “logika yang membahayakan” terkandung maksud tersembunyi untuk mengucilkan atau mengkerdilkan seseorang supaya kebesaran dirinya muncul dan mencuat kepermukaan Kalaupun tidak demikian, sekurang-kurangnya sekedar memancing “emosi dan nafsu untuk menjawab” dengan tingkat defensive yang tinggi ???
Istilah “berbahaya” yang ditujukan untuk memvonis pikiran seseorang bisa lebih membahayakan dari  bahaya itu sendiri. Karena istilah bahaya lebih berkonotasi sebagai sesuatu yang “mengancam” bagi pihak lain, dan yang seperti itu tentu saja sangat perlu untuk dihindari jauh-jauh bagaikan sejenis virus yang mematikan. Jadi ada terkandung unsur provokasi di dalamnya, padahal istilah berbahaya yang dimaksud mungkin hanya bermakna sempit menurut dirinya sendiri saja.
Apakah setiap pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendapat kita bisa dengan ringannya disebut berbahaya? Jika demikian lantas apa bedanya logika berfikir yang seperti itu dengan gaya orde baru yang mempopulerkan kata “subversive” bagi orang2 yang mempunyai pikiran berbeda dengan jalur politik orba? Apakah itu termasuk kategori pembunuhan kaeakter? entahlah...
Sepertinya kita semua perlu terus belajar bagaimana menghormati orang lain dengan cara menjadikan diri kita pantas dihormati*****

Bandung, Des 2009
Upang Pattisahusiwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar